Kamis, 03 Maret 2011
d. Periode 1984/1985-1988/1989 Repelita IV
Apa yang dialami pada periode Repelita III, ternyata masih dialami pada periode Repelita IV ini. Bahkan pada periode ini harga minyak bumi turun sangat tajam. Masalah yang semakin nampak dan dirasakan adalah masalah tenaga kerja yang melaju pada tingkat kurang lebih 2,7% per tahun. Pada tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan tahun 1988 diperkirakan akan menjadi 73 juta. Sementara angka pertumbuhan direncanakan hanya 5% pertahun selama Pelita IV.Di samping ciri-ciri pokok dan pola unit produksi juga merupakan hambatan bagi berkembangnya ekspor Indonesia, bahkan menghambat pertumbuhan secara keseluruhan.

Usaha-usaha untuk melanjutkan deregulasi pada periode ini semakin ditingkatkan dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi mekanisme pasar, khususnya yang berkaitan dengan aspek moneter, kelancaran arus barang yang ada pada giliran berikutnya diharapkan dapat meningkatkan produksi (Inpres No.4/1985). namun dengan situasi Internasional yang tidak menentu pada tahun1986/1987 Neraca Pembayaran Indonesia menghadapi tekanan berat. Lebih-lebih karena turunnya harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman itu, sekali lagi pemerintah memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS sebesar 31% pada 12 September 1986. Tujuan utama devaluasi ini pada dasarnya untuk mengamankan neraca pembayaran selain untuk meningkatkan ekspor Indonesia, meningkatkan daya saing produk Indonesia dan mencegah larinya rupiah ke luar negeri. Namun harus diingat bahwa dengan devaluasi ini, jumlah hutang Indonesia semakin besar.

Pada tahun-tahun terakhir Repelita IV, perekonomian Indonesia semakin dibebani dengan meningkatnya hutang luar negeri sebagai akibat depresiasi mata uang dollar Amerika Serikat terhadap Yen dan DM kurang lebih sebesar 35%. Namun dalam situasi sulit seperti ini, APBN tahun 1987/1988 naik kurang lebih 6,6% di bandingkan dengan anggaran sebelumnya. Penyebab utamanya adalah bahwa negara minyak sudah meningkat pada tingkat rata-rata US$ 15 per barel. Yang juga sedikit menggembirakan adalah pada tahun 1987 ekspor non-migas telah dapat melampaui ekspor migas. oleh para pengamat naiknya ekspor non-migas ini disambut dengan dua pandangan. Di satu pihak beranggapan bahwa meningkatnya ekspor non-migas ini disebabkan karena deregulasi yang selama ini secara intensif dilakukan, namun pengamat yang lain berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini disebabkan karena depresiasi dollar Amerika terhadap Yen dan DM, karena ternyata ekspor indonesia ke Jepang dan Jerman Barat merupakan bagian tindakan kecil dari keseluruhan ekspor Indonesia. Pengamatan masih perlu dilakukan untuk menyusun kebijakan. Namun yang pasti bahwa target pertumbuhan sebesar 5% per tahun selama Repelita IV sangat sulit dicapai.
SUMBER:
Suroso,P.C.1997. Perekonomian Indonesia.Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar