Kamis, 31 Oktober 2013
Hukum adat yang berlaku di setiap
daerah berbeda-beda meskipun tak jarang terjadi kemiripan, Seperti yang
diketahui, daerah Sumatera Utara di dominasi dengan suku Batak dan Melayu.
Dimana suku Batak itu sendiri juga bemacam-macam, antara lain Toba, Karo, Simalungun,
Tapanuli, dan Nias. Selain itu juga terdapat suku-suku pendatang yang jumlahnya
juga cukup banyak seperti Jawa, Padang, dan lain sebagainya.
Di sini saya mencoba untuk menguraikan hukum adat yang
masih berlaku di Sumatera Utara meskipun tidak semuanya dapat saya jelaskan
secara detail. Berhubung saya suku Karo maka kemungkinan Hukum yang akan saya
jelaskan tentang hukum adat Karo, namun tidak begitu terperinci karena
keterbatasan pengetahuan yang saya miliki.
1.
PERKAWINAN
Ada lima klen besar (marga) pada masyarakat karo, kelima
merga tersebut adalah:
1. Karo-karo : Barus, Bukit,
Gurusinga, Kaban, Kacaribu dll (Jumlah = 18)
2. Tarigan : Bondong, Ganagana,
Gerneng, Purba, Sibero dll (Jumlah = 13)
3. Ginting: Munthe, Saragih, Suka,
Ajartambun, Jadibata dll (Jumlah = 16)
4. Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh
makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak
boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dll (Jumlah = 15)
5. Perangin-angin: Bangun, Kacinambun,
Perbesi,Sebayang dll (Jumlah = 18).
Total semua submerga adalah = 84
Sifat
perkawinan dalam
masyarakat Batak karo adalah eksogami artinya
harus menikah atau mendapat jodoh diluar marganya (klan). Bentuk perkawinannya adalah jujur yaitu dengan
pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak
perempuan menyebabkan perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan
suaminya. Perkawinan diantara semarga dilarang dan dianggap sumbang (incest),
perkawinan eksogami tidak sepenuhnya berlaku pada masyarakat Karo, khususnya
untuk Marga Sembiring dan Perangin-angin. Sebab, walaupun bentuk perkawinannya
jujur tapi sistem perkawinannya adalah eleutherogami terbatas yaitu seorang
dari marga tertentu pada Marga Sembiring dan Perangin-angin diperbolehkan
menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal klannya berbeda.
Perkawinan semarga yang terjadi dalam klan Sembiring
terjadi karena dipengaruhi faktor agama, faktor ekonomi dan faktor budaya.
Pelaksanaan perkawinan semarga dinyatakan sah apabila telah melewati tahap Maba
Belo Selambar (pelamaran), Nganting Manuk (musyawah untuk membicarakan hal-hal
yang mendetil mengenai perkawinan), Kerja Nereh i Empo (pelaksanaan
perkawinan), dan Mukul (sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum
adat Karo). Akibat hukum dari perkawinan semarga adalah sama seperti perkawinan
pada umumnya apabila telah dilakukan sesuai dengan agama, adat, dan peraturan
yang berlaku.
Larangan perkawinan yang dilangsungkan diantara
orang-orang yang semarga dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan
berdasarkan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak karo. Karena nilai budaya
karo sangat tinggi pengaruhnya dalam budaya Batak karo dalam mewujudkan
kehidupan yang lebih maju, damai, aman, tertib, adil, dan sejahtera.
Sanksi bagi yang melakukan perkawinan semerga (sumbang)
adalah :diusir dari tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat,
dikucilkan dan diusir oleh keluarga, dan dimandikan di depan umum (dalam bahasa
Karo disebut ‘i peridi i tiga’).
Proses
Pernikahan
Proses ataupun tahapan yang akan dilaksanakan bila ingin
berkeluarga pada pria dewasa dinamai “Anak Perana” dan wanita dewasa dinamai
“Singuda-nguda”. Ada lima tahapan yang harus dijalankan yaitu :
1.
Naki-naki dan Maba Nangkih.
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda,
yang dianggapnya cocok, tidak sumbang, tetapi harus sesuai dengan adat Karo.
Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita
menerima kehadirannya.
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa
siwanita “Nangkih” ke rumah anak beru si pria. Sebagi tanda melalui perantara
diberikan ‘Penading” kepada orang tua si wanita. Orang tua si wanita
seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak
menyetujuinya, dan seterusnya. Namun demikian dua atau tiga hari kemudian
beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada
anaknya. Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan
seterusnya.
2.
Ngembah Belo Selambar.
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak,
selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak,
senia dan anak berunya, demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina
dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria. Yang datang
terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras
secukupnya. Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan
atapun musyawarah (runggu) isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan
senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah, tentunya
ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati
orang tua siwanita (kalimbubu) acar tersebut telah selesai. Tidak ada lagi yang
perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin
dapat langsung pulang.
3.
Nganting Manuk.
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi
telah dipanen sekali. Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih
penting. Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan
lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi), tidak lagi hanya ayam. Melihat
bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang. Waktunya
boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari. Banyaknya yang hadir kira-kira
memenuhi rumah adapt ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak. Dalam
acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan
waktunya, berapa yang harus titangngung dan berapa utang adat yang harus
dibayarkan.
Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu Singuda pesta
adatnya dilakukan dirumah saja, Sintengah bila kumpul seluruh sanak family,
Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang
(musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau. Tanggungan pihak pengantin
pria, seperti pembayaran utang adapt tentunya disesuaikan dengan tingkatan
pestanya adatnya. Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan
pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere, apa yang akan menjadi
hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu
kepada beberenya yang akan menikah.
Tentunya hal ini akan ditanyakan terlebih dahulu kepada
beberenya, apa keinginannya, dan keinginan ini tidak dapat tidak
disampaikan/disetujui. Mama si wanita akan memerintahkan kepada turangnya (ibu
si wanita) agar menyediakan permintaan tersebut.
Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan. Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.
Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan. Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.
4.
Kerja Adat Perjabun.
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adat pernikahan.
Telah syah menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta
adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta tidak ada
dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah
kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak
akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau
daun/pelepah kelapa. Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh
pihak siwanita. Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka
diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba
berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta
dilaksanakan.
Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk
pihak pria, dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo
bere-bere. Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan
penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga
pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya
inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita
bicarakan dilain waktu)
Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya
untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi. Jika kalimbubu si
ngalo ulu emas dari pihak pria, boleh tidak hadir disitu, akan didatangi
dikemudian hari untuk membayar utang adat. Pada waktu dulu tidak ada
pidato-pidato seperti sekarang ini, kalimbubu singalo bere-bere memberikan
hadiah dan doa restunya. Untuk mensyahkan pernikahan menurut adat telah
selesai, selanjutnya akan dijalankan terlebih dahulu “si arah raja”, ini
ditangani oleh Pengulu atau Pemerintah, besarnya Rp. 15,- uang perak, dinamakan
si mecur, diberikan kepada seluruh komponen yang berhak menerima, ulu emas,
bena emas, perkempun, perbibin, perkemberahen, dan lainya. Setelah itu Rp. 60,-
uang perak unjuken untuk pihak si wanita, selebihnya dinamakan tepet-tepet
dijalankan oleh anak beru kedua belah pihak saja.
5.
Mukul. Mukul sebagai
syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Karo yaitu acara makan-makan
di tempat pihak laki-laki yang dihadiri oleh sebagian dari pihak perempuan.
Kelima tahapan
tersebut harus dilakukan
bila kita ingin perkawinan diakuiberdasarkan
adat-istiadat BK. Proses perjabun BK dianggap sah bila
dihadiri/disetujui oleh “Sanggep Nggeluh”/Daliken Sitelu yang
dikenal dengan istilah: Kalimbubu (kelompok paman), Senina (saudara
kandun/sedarah), dan Anak Beru (kelompok perempuan).Elemen yang paling mendasar
di dalam masyarakat Karo adalah merga atau marga, yang oleh banyak orang Karo
diartikan sebagai sesuatu yang “berharga”.
Dalam kesatuan lima marga itu (Merga Silima), itulah yang
disebut orang Karo. Seorang anak laki-laki akan terus mewariskan marga itu dari
ayahnya. Seorang perempuan akan menyandang juga marga ayahnya sebagai beru
(perempuan), dan akan terus disandang sampai menikah. Di samping identitas
marga dan beru, setiap orang Karo juga memiliki bere-bere (marga yang diperoleh
dari ibu/beru). Dua orang yang memiliki bere-bere yang sama dipandang sebagai
saudara kandung dan juga menjadi senina (saudara kandung dalam jenis kelamin
yang sama) atau turang (dalam jenis kelamin yang berbeda).
Yang
mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat
keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat
dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup
yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam
masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki
pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sebagai contoh,
seseorang yang telah menikah dan memiliki anak, maka untuk memanggilnya tidak
boleh lagi menyebut nama, tetapi nama anaknya disebutkan. Jadi ia akan
dipanggil sebagai bapak si “anu”. Ini sebagai sebuah tanda penghargaan, karena
seseorang yang sudah memiliki anak telah mendapatkan tuah(berkat). Dengan
memanggil seperti itu berarti ia telah dihormati. Banyak lagi
panggilan-panggilan yang lain yang dibubuhkan kepada seseorang untuk
menggantikan namanya sesuai dengan posisinya dan juga usianya.Nama tidak lagi dipakai, itulah sebagai ungkapan hukum adat yang
diberlakukan.
2.
PERTANIAN
Di sini
merupakan kebiasaan yang umumnya dilakukan oleh suku Karo, yang kemudian
terdapat hukum adat di dalam kebiasaan tersebut. Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah
perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Merdang merdem tersebut merupakan
kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam
padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur
kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa
agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan
panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut
biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Ada istilah Mbesur-mbesuri yaitu “Ngerires”, membuat lemang
waktu padi mulai bunting (mulai berisi).
Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan
gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan
pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem
pada bulan yang berbeda. Pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga
lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang
berbeda.
Hari
pertama, cikor-kor. Hari
tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang
ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di
dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk
pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari
itu.
Hari
kedua, cikurung. Seperti
halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di
ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah,
biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.
Hari
ketiga, ndurung. Hari
ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah
atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan
yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas,
belut.
Hari
keempat, mantem atau motong. Hari
tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari itu penduduk
kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk
Hari
kelima, matana. Matana
artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi
kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak
hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut
semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan
menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di
alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara
disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah
dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya
dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut
diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat
adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib
makan.
Hari
keenam, nimpa. Hari
itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut
lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut.
Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak
lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain di
Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires
yang dalam bahasa indonesia disebut lemang. Cimpa atau lemang daya tahannya
cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena
itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.
Hari
ketujuh, rebu. Hari
tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya.
Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali
ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi
telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti
halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah
hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal
melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Dilarang membawa sayuran
atau benda-benda yang berngiang ke rumah selama empat hari setelah
merdang-merdeng tersebut. Menurut hemat saya, rebu ini bertujuan untuk
menciptakan ketertiban serta sopan santun bermasyarakat. Hari besok telah
menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.
3.
KELAUTAN
Di sini saya akan menguraikan tentang hukum adat
kelautan pada suku Melayu Deli (Kesultanan Serdang). Berikut ini adalah
aturan-aturan yang termaktub dalam hukum adat kelautan Kesultanan Serdang:
a. Norma dan Hukum di Laut
Semua orang
yang ada di atas kapal, termasuk nakhoda (kapten
kapal), mualim(navigator),
para tukang, para awak kapal, dan lain-lainnya harus menaati apa yang menjadi
norma dan hukum adat-istiadat yang diberlakukan di pelabuhan atau selama berada
di atas kapal. Apabila ada kapal yang berangkat ke lautan, semua orang di atas
kapal harus patuh di bawah perintah nakhoda (kapten kapal). Pada saat perahu
membentangkan layar, mualim akan
memerintahkan anak-anak buahnya untuk berjaga-jaga, termasuk memastikan kondisi
perahu dalam keadaan siap untuk berlayar.
Orang-orang yang diberi tugas untuk menjaga keamanan itu
harus berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Jika terjadi hal-hal yang tidak
diiinginkan, maka mereka wajib dihukum dan dikenakan denda, sebagai contoh
adalah sebagai berikut:
·
Apabila
kapal mengalami kondisi bahaya dan mengakibatkan kerusakan akibat kelalaian
para petugas yang seharusnya berjaga, maka menurut undang-undang, mereka harus
dihukum cambuk sebanyak 20 kali.
·
Apabila
kapal sedang dalam kondisi menuju bahaya sedangkan para penjaga tidak mengetahui
hal ini, maka mereka patut dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 8 kali.
·
Apabila
para penjaga membiarkan ada kapal lain lewat tanpa memberikan isyarat, maka
mereka akan dikenai hukuman cambuk sebanyak 7 kali.
·
Apabila
penjaga yang seharusnya bertugas mengawasi para budak lalai dalam pekerjaannya
sehingga mengakibatkan budak-budak tersebut melarikan diri, maka penjaga yang
bersangkutan harus dihukum cambuk sebanyak 60 kali.
·
Apabila
petugas yang seharusnya menjaga agar kapal jangan sampai oleng dan jangan sampai
banyak air yang masuk ke dalam kapal, lalai dalam menjalankan tugasnya, maka
petugas tersebut dikenai hukuman cambuk sebanyak 15 kali.
·
Apabila
para petugas yang berjaga tidak benar-benar memperhatikan keadaan di
sekelilingnya sehingga terjadi kasus pencurian di dalam perahu, maka petugas
itu akan dihukum cambuk sebanyak 2 kali oleh setiap orang yang ada di dalam
perahu.
b. Aturan tentang Membuang Muatan ke Laut
Apabila
diperkirakan akan terjadi badai, atau sedang terjadi badai, dan diharuskan
membuang sebagian muatan ke laut untuk mengurangi beban kapal, maka akan
diadakan suatu pembicaraan mengenai apa-apa saja yang ada di dalam kapal.
Penumpang yang membawa barang muatan, baik berjumlah banyak ataupun sedikit,
harus bersedia untuk membuang barang muatannya ke laut jika sudah disepakati
dalam forum pembicaraan. Jika nakhoda lalai
dalam mengumpulkan orang-orang yang membawa barang muatan dan begitu saja
membuang barang muatan ke laut tanpa pandang bulu, maka nakhoda tersebut akan disalahkan dan patut memperoleh
hukuman.
c. Aturan Jika Terjadi Kecelakaan Kapal
Apabila kapal berbenturan atau bertabrakan dengan sebuah
kapal perang, di mana dapat menimbulkan korban jiwa, maka kesalahan ini harus
ditanggung oleh semua orang yang ada di dalam kapal. Setiap orang harus
membayar dengan jumlah yang sama. Hal ini berlaku tanpa terkecuali, baik untuk
yang kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa.
Apabila kapal
mengalami kecelakaan dan terjadi tabrakan karena angin ribut, badai, terjebak
di perairan yang dangkal, atau bersenggolan dengan kapal lain, dan
mengakibatkan kapal tenggelam, terdapat undang-undang yang mengatur hal ini.
Insiden itu tidak dianggap karena disebabkan oleh faktor alam (angin ribut)
melainkan karena kelalaian orang-orang yang seharusnya bertanggungjawab (human error).
Jika misalnya akan terjadi angin ribut, sebaiknya
diusahakan untuk menyelamatkan kapal demi menghindari terjadinya kerugian yang
lebih besar. Undang-undang menyatakan bahwa kerugian yang timbul karena insiden
itu harus ditanggung dan dibagi dalam 3 bagian. Sebanyak 2/3 bagian harus
ditanggung oleh orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas terjadinya
kecelakaan itu, sementara 1/3 lainnya menjadi tanggungan si pemilik kapal.
d. Aturan Memasuki Pelabuhan dan Berdagang
Apabila nakhoda ingin singgah di suatu bandar pelabuhan,
pulau, atau pesisir, maka seharusnya diadakan musyawarah terlebih dulu. Jika
disetujui, maka kapal bisa menuju tempat yang dikehendaki nakhoda tersebut. Apabila tidak diadakan musyawarah
sebelum berlabuh, maka nakhoda dinyatakan
telah melakukan kesalahan dan patut dikenakan sanksi.
Apabila kapal
tiba di suatu bandar pelabuhan, maka yang pertama-tama diperbolehkan turun dari
kapal untuk berdagang adalah nakhoda, yakni
selama 4 hari, dan harus dikawal oleh sejumlah petugas yang ditunjuk. Setelah
urusan dagangnya selesai, nakhoda diharuskan
segera kembali ke kapal untuk melanjutkan tanggungjawabnya. Setelah nakhoda, selanjutnya adalah giliran kiwi (saudagar) yang diizinkan turun untuk berniaga
selama 2 hari. Terakhir barulah semua orang yang ada di atas kapal turun untuk
berdagang.
Apabila waktu
yang ditentukan untuk berdagang telah berakhir dan nakhoda ingin membeli barang yang sudah dibawa ke
atas kapal, maka tidak ada seorang pun diperbolehkan menawar harga lebih tinggi
dari tawaran yang telah diajukan olehnakhoda. Selain itu, nakhoda adalah orang pertama yang berhak
mengetahui harga barang yang akan dijual. Apabila ada penumpang kapal yang
membeli budak (hamba) wanita tanpa sepengetahuan nakhoda, maka nakhoda diberi hak untuk merampas budak wanita
tersebut tanpa harus membayar ganti rugi.
e. Aturan tentang Penahanan Kapal
Apabila musim
Kassia hampir usai, sedangkan nakhoda kapal
lalai untuk berlayar, maka para saudagar akan menunggu dengan biaya sendiri
selama 7 hari. Apabila setelah 7 hari itu nakhoda tidak juga berlayar, apalagi jika musim
Kassia telah berakhir, maka nakhoda harus
mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan oleh kaum saudagar.
Sebaliknya,
apabila kaum saudagar yang menyebabkan keterlambatan pelayaran, sementara musim
Kassia sudah hampir usai, maka nakhoda akan
menunggu kapalnya selama 7 hari atas biaya sendiri. Apabila sudah lewat 7 hari
dan kaum saudagar belum datang juga, maka nakhoda berhak memberangkatkan kapal tanpa harus
menunggu lagi. Namun, nakhoda tidak
mendapatkan ganti rugi apapun atas biaya yang dikeluarkan selama masa tunggu.
Menurut hukum,
jika hampir terakhir musim Kassia, dan nakhoda perahu lalai berlayar, para kiwi akan menunggu, dengan ongkos sendiri selama 7
hari lewat itu, jika nakhoda tidak juga berlayar, dan musim sudah berakhir,
harga yang dibayar untuk dibagi-bagikan mengenai muatan akan dikembalikan
kepada para kiwi. Jika para kiwiyang menjadi sebab kelambatan itu, dan musim sudah
hampir berakhir, maka nakhoda akan menunggu perahunya selama 7 hari atas biaya
mereka, dan sehabis itu berhak berlayar tanpa mereka (jika mereka belum
selesai), dan tidak ada yang dibayar atau diperbuat mengenai hal itu.
Jika musim
tidak berapa jauh lagi, dan nakhoda sangat ingin untuk segera berlayar, ia
harus memberitahukan hal itu kepada para kiwi, dan haruslah berunding dengan mereka untuk
belayar dalam masa 7 atau 15 hari, dan jika para kiwi belum bersiap waktu itu, maka nakhoda berhak meninggalkan mereka di belakang dan
segera berlayar.
f. Aturan tentang Hukuman Mati di Kapal
Terdapat empat perkara di atas kapal yang akan diancam
dengan hukuman mati bagi pelakunya, yaitu:
1. Orang yang
melakukan pemberontakan terhadap nakhoda.
2. Orang-orang
yang membentuk komplotan untuk membunuh nakhoda.
3. Apabila ada orang yang membawa keris, sedangkan
orang-orang lain tidak ada yang membawanya, dan orang yang membawa keris itu
bertindak sewenang-wenang serta dicurigai akan melakukan tindakan yang
membahayakan, maka setiap orang yang ada di kapal berhak untuk membunuh orang
itu demi menghindarkan diri dari ancaman bahaya..
4. Apabila terjadi tindak pemerkosaan atau perzinahan.
g. Aturan tentang Perkelahian di Kapal
1. Apabila ada orang yang berkelahi di atas kapal, dengan
maksud melukai lawannya namun luput dan justru mengenai bagian kapal, maka
orang itu akan dikenakan denda 4 Pahar Petis Jawa.
2. Apabila ada orang yang berkelahi di bagian depan kapal
dan menyerang sampai ke tempat di mana layar berada, maka si pelaku akan
dihukum paling berat hukuman mati. Namun, apabila hal tersebut dapat dicegah,
maka si pelaku hanya akan dikenakan denda sejumlah 1 Laksa, 5 Pakar Petis Jawa.
3. Apabila ada
orang yang berkelahi dan saling mengejar sampai ke ke pintu kamarnakhoda, meskipun ia tidak mencabut kerisnya, si pelaku
diperbolehkan dihukum mati. Namun, jika si pelaku minta ampun, maka hukumannya
adalah membayar denda sejumlah 4 Pakar Petis Jawa dan memotong kerbau untuk
pesta nakhoda.
h. Aturan tentang Pencurian di Kapal
1. Apabila ada laki-laki (yang bukan budak) ketahuan
mencuri di atas kapal, baik mencuri emas, perak atau barang-barang berharga
lainnya, maka ia akan dihukum sesuai dengan hukuman diberlakukan di darat.
2. Apabila
orang yang mencuri itu adalah seorang budak, pertama-tama ia harus dipertemukan
dengan tuannya, dan jika ternyata tuannyab tahu tentang pencurian itu dan tidak
memberitahukannya kepada nakhoda, maka
hukuman bagi si budak adalah potong tangan, sedangkan tuannya diharuskan
membayar denda.
4.
WARISAN
Hukum waris adat Batak Karo yang menganut sistem
pewarisan patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,
dimana anak laki-laki sajalah yang berhak terhadap harta warisan orang tuanya.
Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung hanya menentukan suatu hukum yang berlaku
bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat
bagi para pihak yang diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat
bagi orang lain yang bukan merupakan para pihak, sementara hukum waris adat
Batak Karo dirasa kurang adil bagi kaum perempuan dan janda. Telah ada
perkembangan hukum waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan
sebagai ahli waris. Ini dapat dibuktikan dengan adanya pembahagian yang khusus
dan kewajiban untuk memberikan pemberian kepada anak perempuan walaupun tidak
sebanyak bahagian anak laki-laki.
Filosofinya anak perempuan tidak boleh meminta warisan,
sebab ia akan dipenuhi kebutuhannya oleh suaminya. Tetapi anak perempuan harus
mendapat bagian sebagai kenang-kenangan dari orangtuanya, bisa berupa kaplingan
Rumah atau barang berharga dari orang tua mereka, emas atau berlian…dstnya.
Tetapi anak laki-laki harus bertanggung jawab terhadap turangnya apabila hidup
turangnya tidak beruntung (diceraikan oleh suaminya).Namun kedudukan janda
belum diterima sebagai ahli waris harta suaminya karena masyarakat masih
berpegang teguh pada hukum waris adat Batak Karo yang menolak janda sebagai
ahli waris.
KESIMPULAN
Dari isi makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa adat,
hukm adat dan adat istiadat adalah tiga hal yang berbeda tapi saling berkaitan
satu sama lain. Dimana Adat memiliki perngertian aturan-aturan perilaku serta
kebiasaan yang telah berlaku di dalam pergaulan masyarakat. Sedangkan Hukum
Adat adalah sekumolan peraturan yang tidak tertulis, dan tidak terkodifikasi
namun hidup dan berkembang di tengah masyarakat serta memiliki sanksi bagi yang
melanggarnya. Terakhir, Adat istiadat adalah etika atau tata krama bersikap dan
bergaul yang sifatnya diturunkan dari para lelhur dan memiliki nila-nilai
tersendiri.
Baik adat, hukum adat maupun istiadat merupakan tiga hal
yang dimiliki oleh setiap daerah dan biasanya terdapat perbedaan-perbedaaan
diantara daerah-daerah tersebut. Namun dalam perbedan-perbedaan tersebut
terdapat (tersirat) suatu nilai moral yang sama, yang bertjuan untuk tetap
menghormati kebudayaan yang hidup di dalam masyarakat.
Di dalam hukum adat perkawinan suku Karo di sumatera
utara dilarang untuk kawin satu marga (klan), hal ini menujukkan bahwa suku ini
menganut sistem perkawinan eksogami yang merupakan ciri dari struktur
Patrilinial (garis hkum dari pihak laki-laki). Perkawinan semarga ini disebut
juga sumbang atau incest, yang mana bila dilanggar akan mendapat sanksi adat.
Di dalam pertanian orang karo dikenal istilah Merdang
merdem, yaitu kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah
acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari
ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai.
Biasanya dilakukan tujuh hari berturut-turut, dimana setiap harinya memiliki
jadwal atau aturan tersendiri yang harus dilakukan. Di sini hukum adatnya
berlak pada hari ketujuh, yaitu hari terakhir yang merupakan hari Rebu. Yaitu
hari dilarang berbicara satu sama lain, dan dianjurkan untuk menenangkan diri
setelah berpesta.
Dalam hukum kelautan di sumatera utara saya mengambil
contoh aturan dari Kesultanan Serdang. Di sini terdapat aturan-aturan yang
sudah ada dari sebelum zaman Belanda dan memiliki sanksi tersendiri bila
dilanggar (terjadi). Diantaranya mengenai aturan di laut, membuang muatan ke
laut, kecelakaan, berdagang, perkelahian dan sebagainya.
Sedangkan di dalam hukum warisan, biasanya suku karo
memberikan bagian yang lebih banyak kepada anak lelaki. Hal ini karena anak
lelaki akan dan harus bertanggng jawab terhadap kehidupan turangnya (yang masih
butuh ditanggung dan apabila sudah bercerai). Di sini hak atau bagian untuk
anak perempuan tidak sebanyak bagian anak laki-laki, biasanya pada anak
perempuan maupun anak terakhir diberikan warisan berupa rumah tempat tinggal
milik orang tuanya atau emas. Anak perempuan dianggap tidak pantas untuk
meminta warisan, karena mereka hanya akan mendapat warisan apabila telah diberikan
dari orang tuanya.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar