REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 5

Kamis, 15 Desember 2011

Judul : "Mengembangkan Konsep Bisnis Koperasi"


Nama Kelompok :
 
  1. Rheza Arifiandhi                 (25210842)
  2. Vahmy Arria .F                   (28210343)
  3. Renaldi Aidil                       (25210720)
  4. Brian A.B. Leatemia            (21210446)
  5. Mathias Arfan Taufan D     (28210894)

ABSTRAKSI


Penelitian ini bertujuan melakukan pengembangan kompetensi inti dan konsep bisnis  koperasi sesuai realitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia berbasis ekonomi  rakyat.  Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif, yaitu  Beyond  Structuralism. Beyond Structuralism mensinergikan antropologi strukturalis sinkronis (kontekstual) dan postrukturalis diakronis (masa lalu). Metodologi dijalankan dengan  metode  Constructivist Structuralism-nya Pierre Bourdieu untuk mengetahui secara empiris (habitus, capital, field dan practice) aktivitas bisnis koperasi di Indonesia.  Tahap pertama, teoritisasi antropologis melalui sinergi antropologi sinkronis (realitas bisnis koperasi kontekstual) dan antropologi diakronis (realitas bisnis koperasi  fase awal). Tahap kedua, melakukan sinergi keduanya untuk menemukan benang merah  konsep kemandirian berbisnis koperasi secara empiris di lapangan Teoritisasi  diperlukan untuk merumuskan Konsep Kemandirian Koperasi.  Hasilnya, konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktifintermediasi-retail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas  masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi,  supporting movement, dan  strategic positioning berkenaan menumbuhkan  kembali konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktifintermediasi-retail yang komprehensif.



1. PENDAHULUAN


Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut  Neoliberalism. Gelombang besar  neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.  Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hapir seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas negara-negara Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme.  Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa liberalisme.  Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?  Apakah jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah berkumpulnya koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin 2006)? Atau dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri  Negara Koperasi dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi Berkualitas  tahun 2009?  Banyak sudah program-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi  juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan  pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis  (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses  pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan  perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di  pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga  profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku  usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional). 



1.1. Permasalahan

Tetapi ternyata, seluruh ”treatment” tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, seperti diungkapkan Soetrisno (2002) bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia  adalah dengan tiga pola penitipan kepada program, yaitu pembangunan sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; serta (3) perusahaan negara maupun swasta berbentuk koperasi karyawan. Tiga pola tersebut menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat kurang berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana mestinya.  Masalah kedua, koperasi, lanjut Soetrisno (2002) juga dikembangkan untuk mendukung program pemerintah berbasis sektor primer dan distrubusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Ketika program tersebut gagal, maka koperasi harus memikul beban kegagalan program. Sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan media massa. Dalam pandangan pengamat internasional (Sharma 1992), Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.  Ketiga, masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar ekonomi. Hatta (1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi, memiliki tiga rantai utama, yaitu perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan. Ketika sistem ekonomi hanya berputar pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan perniagaan pengumpulan maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan pada titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan. Dampaknya adalah reduksi kepentingan produsen, konsumen, bahkan alam. Bentuk Ekonomi versi Hatta tersebut, kita sebut saja Ekonomi Natural, sebenarnya mengingatkan kita bahwa ekonomi jangan hanya dijalankan dengan menekankan mekanisme  perdagangan (intermediasi), dan menganaktirikan produksi (seperti bertani, pertambangan, berkebun, kerajinan, dan lainnya) serta retail (berdagang eceran). Ekonomi Natural dengan demikian merupakan ekonomi produktif, intermediasi, sekaligus pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan akuntabilitas kepada Allah SWT.  Keempat, data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006, dijelaskan Jauhari (2006) didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan, koperasi pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi tertentu baik pemerintah maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi keanggotaan dan memiliki sifat stelsel pasif. Biasanya koperasi fungsional merupakan bentuk ekonomi intermediasi untuk memenuhi kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter bersama, dan lain-lain. Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat subordinasi. Misal koperasi karyawan PLN dan AKLI, tujuannya memenuhi  kebutuhan penyediaan bahanbahan produksi PLN. Bahkan menurut Jauhari (2006) bentuk koperasi fungsional sangat mungkin bertentangan dengan tiga prinsip ICA. Prinsip Pertama, yaitu keanggotaan sukarela dan terbuka. Kedua, Prinsip Kedua, yaitu kontrol anggota yang demokratis. Ketiga, Prinsip Keempat, yaitu otonomi dan independen. Kelima, dari sudut bisnis, keempat masalah koperasi di atas berdampak pada hilangnya  sense untuk melakukan identifikasi apa yang disebut Prahalad dan Hamel (1990) sebagai kompetensi inti (core competencies). Bisnis koperasi selama ini tidak dapat mengidentifikasi keunikan dirinya. Koperasi – akibat kemanjaan dan intervensi – hanya dapat melakukan identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari konsep bisnis,core competencies merupakan "jantung" organisasi atau perusahaan, sedangkan produk merupakan implementasi dari  core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai tambah organisasi bisnis.  Core competencies perlu didesain melalui kejelasan visi dan misi organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis, produk sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies. Berdasarkan beberapa masalah di atas penelitian ini mencoba untuk menjawab pertanyaan, apakah aktivitas bisnis koperasi memiliki kreasi pemberdayaannya sendiri, otonom-independen, sesuai mekanisme naturalitas ekonominya, dan memiliki core competence-nya sendiri? Penelitian ini akan membahas bagaimana mengembangkan koperasi yang sebenarnya dari realitas masyarakat Indonesia. Pengembangan koperasi di sini tidak menolak proyek-proyek prestisius untuk kemajuan koperasi. Idealisme koperasi seperti itu harus tetap dikedepankan sebagai salah satu pemicu semangat agar koperasi tetap memiliki ruh perjuangan ekonomi rakyat. Tetapi perlu diingat, koperasi harus tetap

sesuai jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan mayoritas anggota International Cooperation Association (ICA) bahwa koperasi akan menjadi yang terbaik bila mereka menjadi dirinya sendiri.



1.2. Tujuan Penelitian



Tujuan penelitian ini adalah, pertama, menggali konsep-konsep genuine berekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; kedua, menempatkan konsep genuine berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; ketiga, menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi; keempat, memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.



1.3. Struktur Isi Artikel



Artikel disusun dalam 6 bagian utama. Bagian pertama, pendahuluan, terutama menjelaskan tentang latar belakang, masalah, tujuan penelitian dan struktur isi artikel. Bagian kedua dan ketiga merupakan penjelasan teori yang digunakan. Bagian kedua menjelaskan mengenai koperasi sebagai operasionalisasi ekonomi rakyat. Bagian ketiga menjelaskan mengenai konsep core competencies bisnis. Bagian keempat menjelaskan mengenai metodologi penelitian dan metode yang digunakan untuk melakukan pengembangan konsep bisnis koperasi. Bagian kelima adalah pembahasan temuan

penelitian. Bagian keenam catatan akhir dan agenda ke depan.







2. KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT



Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.

Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah masalah masyarakat Indonesia dewasa ini.

Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan privat dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena menurut Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya. Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions)

di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik, sehingga

mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro. Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere. Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk

koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia. Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state” adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”







3. SIMPULAN DAN REKOMENDASI



Konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasiretail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement (bukannya intervention movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat positioning) berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif. Paling penting adalah menyeimbangkan kepentingan pemberdayaan ekononomi koperasi berbasis pada sinergi produktif-intermediasi-retail sesuai Ekonomi Natural model Hatta. Sinergi produktifintermediasi- retail harus dijalankan dalam koridor kompetensi inti kekeluargaan. Artinya, pengembangan keunggulan perusahaan berkenaan inovasi teknologi dan produk harus dilandasi pada prinsip kekeluargaan. Individualitas anggota koperasi diperlukan tetapi, soliditas organisasi hanya bisa dijalankan ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan. Agenda mendesak. Pertama, menemukan bentuk konkrit kompetensi inti kekeluargaan. Sebagai komparasi mungkin diperlukan parameter usulan Prahalad dan Hamel (1990)18 untuk mengidentifikasi kompetensi inti kekeluargaan versi koperasi.

Kompetensi inti memang berasal dari sumber daya dan kemampuan organisasi, namun tidak semua sumber daya dan kemampuan merupakan kompetensi inti. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perluasan (ekstensi) model tiga parameter tersebut. Kedua, diperlukan pemacu bentuk koperasi secara seimbang. Koperasi produktif perlu digalakkan, sehingga kualitas, enterpreneurship, kemandirian, jumlah dan keanggotaannya memiliki keseimbangan dengan bentuk koperasi lain, seperti koperasi fungsional, koperasi retail maupun jasa (intermediasi). Bagi koperasi produktif lama perlu kebijakan mendesak untuk pemberdayaan agar tidak terjadi deklinasi usaha. Perlu juga menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru koperasi di bidang produktif, seperti pertambangan, energi, industri, otomotif, industri keperluan rumah tangga (sabun, sikat gigi, pasta gigi, shampoo, dll), teknologi pertanian, dll.

















DAFTAR PUSTAKA

Arif, Sritua. 1995. Dialektika Hubungan Ekonomi Indonesia dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.

KELOLA. No. 10/IV. hal 29-42.

Bourdieu, Pieree. 1977. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University Press.

Bourdieu, Pierre. 1989. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge-

MA: Harvard University Press.

Bourdieu, Pierre, Loic JD. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflective Sociology. The University

of Chicago Press.

Capra, Fritjof. 2003. The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living. Flamingo.

Dekopin. 2006. Program Aksi Dekopin. Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar