ALASAN PEMBUBARAN BP MIGAS

Selasa, 01 Januari 2013


Selain itu, Pengamat perminyakan Kurtubi menjelaskan, langkah pembubaran BP Migas oleh MK ini dinilai sangat tepat. Sebab, BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. “Pertentangan dengan konstitusi itu disebabkan oleh tata kelola BP Migas tidak bisa digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itu tidak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33.Dalam rangka memberikan landasan hukum bagi pembaharuan dan penataan kembali kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi maka Pemerintah pada tanggal 23 Nopember 2001 telah menetapkan UU No.22 /2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Sejak ditetapkannya UU No.22 tahun 2001 tentang Migas pada tanggal 23 Nopember 2001 dan PP No.42 tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas maka masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Productions Sharing yang sebelumnya dilaksanakan oleh PERTAMINA kini dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BPMIGAS .
Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung didalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Dan selanjutnya pemerintah membentuk Badan Pelaksana untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.

seperti yang sudah dijelaskan pembubaran BPMIGAS diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, menurutnya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menjadi dasar pendirian BPMIGAS ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.


Dalam UU BP Migas semua keinginan dari Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat terpenuhi. Terlebih lagi, BP Migas dinilai lebih memihak ke asing. Contohnya saja, hasil gas dari LNG Tangguh yang justru tidak dialokasikan ke dalam negeri. BP Migas malah menjual gas tersebut secara murah ke China.
Disisi lain, terdapat tiga alasan yang mendasari bubarnya lembaga pengawas dan pembina pengolahan minyak ini. Adapun alasan ini dikemukakan oleh Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Raden Priyono.
Pertama, Pertamina tidak pernah ikhlas untuk melepas BP Migas. Pertamina tetap ingin menguasai BP Migas seperti era 1970-an lalu. “Ini semacam ada pertarungan dengan Pertamina karena Pertamina tidak pernah ikhlas melepas Pertamina,” jelasnya.
Wewenang BP Migas memang pernah diserahkan ke Pertamina, khususnya pada 1970-an. Saat itu, Pertamina memang punya pengalaman pernah mengontrol produksi industri hulu migas hingga 1,6 juta barrel. Dengan wewenang BP Migas dikembalikan ke Pertamina, Pertamina akan dianggap sebagai wasit sekaligus pemain di sektor migas. “Dengan menjadi pemain sekaligus wasit, maka Pertamina bebas bermain dan mengawasi sendiri. Beda kalau ada BP Migas, Pertamina menjadi tidak nyaman,” tambahnya.
Bahkan, Pertamina sempat hanya memproduksi sekitar 40.000-50.000 barrel bahan bakar minyak saja. Padahal, minyak tersebut harus didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Otomatis, karena Pertamina saat itu menjadi pemain sekaligus wasit, maka tidak ada yang berani menggugat wewenang perusahaan minyak pelat merah tersebut.
Kedua, untuk mengamankan posisi di 2014. Sekadar catatan, selama menjadi lembaga pemerintah non-BUMN, BP Migas dinilai berkuasa untuk mengatur dan mendistribusikan minyak dan gas bumi di Tanah Air. Kewenangannya langsung berada di bawah Presiden.
Dalam hal perputaran uang (cashflow), BP Migas dinilai lebih cepat dan besar nilai perputaran uangnya. Priyono mencatat bisa mencapai Rp 1 triliun per hari. “Kita kan rata-rata bisa menyetor ke negara di atas Rp 300 triliun per tahun. Jadi, per harinya bisa mencapai Rp 1 triliun,” jelasnya.
Bahkan untuk menyetor ke kas Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), Priyono mengaku lembaganya mampu menyetor 30 persen dari total APBN per tahun.
Ketiga, pertarungan antara yang ingin meningkatkan produksi dan pihak yang memang tidak ingin produksi minyak naik. “Importir minyak. Itu kan alamiah sekali,” ucap Priyono.
Dikatakannya, kalau produksi minyak Indonesia naik, tentunya bisnis importir bakal berkurang. “Itu kan enak, bisnis minyak itu tidak usah investasi. Itu trading kok. Lain dengan KPS yang harus investasi dulu, lima tahun baru balik,” tegas Priyono.
Alasan-alasan pembubaran BPMIGAS diatas sangat bertolak belakang, karena dikemukakan oleh dua belah pihak yang mendukung dan tidak mendukung pembubaran BPMIGAS ini. Namun demikian, kita sebagai masyarkat biasa tentu menginginkan hal yang terbaik dari pembubaran ini.
Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar